Kisah Inspiratif Dari Jogja dan Banyuwangi

Kali ini kita akan melihat kisah sukses dari Indonesia, khususnya dibidang kerajinan atau seni. Suatu karya yang tidak mudah dihasilkan dan tidak mudah dijual, kenapa ? Karena seni itu tidak mempunyai batasan nilai dan bernilai tinggi. Berikut ini dicuplik dari laman detik dot com yang telah dilakukan penyesuaian sebagaimana kebijakan website Indonesia Berkarya.

 

Karya seni yang dilakukan Sardi, pria tamatan SMP ini membuat aneka produk kerajinan kayu. Produk racikan Sardi antara lain topeng, huruf-huruf, loro blonyo, mangkuk, miniatur hewan, dan berbagai suvenir kayu lainnya. Sardi memakai kayu lokal, salah satunya sengon, untuk bahan baku. Aneka produk karya seni ini diekspor ke mancanegara. Contohnya, huruf kayu dan topeng dikirim ke Taiwan.

 

“Penjualan lebih mengandalkan galeri-galeri di Jakarta dan Bali, dititipkan di sana, mereka pesan yang kira-kira laku, jadi hanya suplai saja. Kirim ke Taiwan juga rutin, minimal 50 topeng per 3 bulan. Pernah juga kirim ke California (Amerika Serikat) dan Jamaika, sekali pesan Rp 50 juta untuk topeng,” jelasnya kepada detikFinance, Minggu (14/5/2017). Omzet Bisnis Kerajinan Kayu Beromzet Rp 35 Juta/Bulan.

 

Menurut Sardi, sukses menggeluti bisnisnya sebagaimana saat ini bukan tanpa kendala. Usaha yang dirintisnya sempat gulung tikar karena sama sekali tak ada pesanan, tepatnya setelah gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 2006 lalu. “Berhenti karena gempa, tidak ada yang pesan sama sekali, tak ada pemasukan. Mulai bangkit rintis lagi tahun 2011 setelah ada orang Taiwan datang pesan langsung. Selama itu sempat jadi petani dulu, tanam padi sama singkong, kan punya tanah enggak luas,” tutur bapak 3 anak ini. Berbekal modal Rp 500.000 dan keterampilan mengerjakan kayu yang diwarisi dari orang tuanya, usaha kerajinan milik Sardi yang diberi nama Vinda Batik Craft (VBC) ini terus berkembang.

 

Kini, Sardi mampu mengantongi omzet lumayan, dan mempekerjakan 12 orang karyawan di bengkelnya yang beralamat di Desa Putat, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. “Kerajinan kayu ini dari Bapak saya dulu belajarnya. Sekarang omzet sebulan paling sedikit Rp 35 juta,” tutur Sardi.

 

Kisah lain dari Kota Blambangan, Banyuwangi dimana suara menderu mesin gergaji terdengar jelas dari sebuah bengkel seni di Dusun Bolot, Desa Alian, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. Di rumah sekaligus bengkel seni itu, limbah batok kelapa dan kayu bekas ‘disulap’ menjadi karimba, alat musik khas Afrika, dengan cat warna-warni cantik.

 

Pemilik kerajinan ini adalah Supriyanto (60), pria di balik suksesnya karimba made in Banyuwangi. Supriyanto merintis bisnis karimba setelah meninggalkan pekerjaannya sebagai kuli bangunan di Bali , dan pulang ke Banyuwangi. Pada 2006, Supriyanto mulai membuat karimba dengan bahan balu limbah batok kelapa, beberapa kayu dan jeruji sepeda.

 

Dengan 7 karyawan yang ia bina, dalam sehari Supriyadi mampu memproduksi karimba sebanyak 600-700 buah. Sedikitnya dalam sebulan ia membutuhkan kurang lebih 75 ribu hingga 140 ribu batok kelapa. Setelah diproses, satu buah Karimba ia bandrol dengan harga Rp 20.000-50.000. Pembuatan karimba-alat musik asal Afrika.

 

Jika diperhatikan, bentuk alat musik karimba ini sederhana. Ukurannya kecil, berdiameter sekitar 20-25 centimeter, seukuran dengan batok kelapa sebagai bahannya. Diatas permukaan kayu, ada tujuh besi jeruji yang digunakan sebagai alat petik. Dan supaya tampilannya lebih menarik, permukaan kayu karimba dihias dengan warna-warni cat dengan corak artistik. “Tingkat kesulitannya pada proses pengecatan karena butuh ketelatenan dan kesabaran. Apalagi ini pengecatannya disesuaikan dengan pesanan,” kata Supriyadi di bengkel seni miliknya, Kamis (4/5/2017).

 

Berkat keuletan dan semangat pantang menyerah, Bali ia jadikan tujuan awal penjualan produk buatannya. Lalu di tahun 2009 Supriyadi mulai menggandeng beberapa toko kesenian di Pulau Dewata.

 

Sejak saat itulah permintaan karimba buatannya terus meningkat. Kini tak hanya Bali sebagai sasaran empuk penjualan Karimba. Karimba bikinannya juga ia kirim hingga ke Eropa, Afrika, Asia Tengah dan Amerika. Maka tak heran jika bisnisnya berbuah manis, dalam sebulan omset Karimba buatannya bisa mencapai puluhan juta rupiah. “Omzetnya dalam sebulan pokonya puluhan juta rupiah lah,” tutupnya sambil tertawa.

 

Nah, kisah diatas semoga menginspirasi. Selamat berkarya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.