Revolusi Website, Pintu Penjualan Produk Yang Efektif ?

Selama ini kita mendengar dan melihat bahwa potensi penjualan via online sangat besar, besar karena pangsa pasang masih terbuka lebar. Per Januari 2017, populasi Indonesia sebanyak 262juta dengan pengguna internet 132 juta lebih. Dengan jumlah pengguna aktif 106 juta, dan yang menarik adalah masih sangat sedikit yang telah menggunakan internet untuk membeli produk.

 

Hanya sekitar 7% dari pengguna internet di Indonesia yang pernah belanja secara online, berdasarkan data dari McKinsey. Dibandingkan dengan China yang sudah mencapai 30%, Indonesia memang masih tertinggal jauh, tapi terus naik seiring dengan bertumbuhnya penggunaan smartphone, penetrasi internet di Indonesia, penggunaan kartu debit dan kredit, dan tingkat kepercayaan konsumen untuk berbelanja secara online. Jika kita melihat Indonesia sebagai Negara kepulauan yang sangat luas, e-commerce adalah pasar yang berpotensi tumbuh sangat besar di Indonesia. Sekarang tidak mudah menemukan warung kopi dengan fasilitas wifi, belum lagi sudah disediakan colokan listri untuk charging. Benar-benar sudah kondisi yang sangat nyaman dan memudahkan akses internet dimanapun.

 

Data dari lembaga riset ICD memprediksi bahwa pasar e-commerce di Indonesia akan tumbuh 42% dari tahun 2012-2015. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan negara lain seperti Malaysia (14%), Thailand (22%), dan Filipina (28%) Tentulah nilai sebesar ini sangat menggoda bagi sebagian investor, baik dalam maupun luar negeri. Beberapa VC (Venture Capital) besar seperti Rocket Internet, CyberAgent, East Ventures, dan IdeoSource bahkan sudah menanamkan modal ke perusahaan e-commerce yang berbasis di Indonesia.

Berdasarkan data dari Bolton Consulting Group (BCG), pada tahun 2013 golongan kelas menengah di Indonesia sudah mencapai angka 74 juta orang dan diprediksi pada tahun 2020, angka ini naik menjadi 141 juta orang atau sekitar 54% dari total penduduk di Indonesia. Melihat dari data ini, sudah jelas dan bisa dipastikan bahwa potensi pasar e-commerce di Indonesia sangatlah besar. Dengan meningkatnya golongan kelas menengah, orang-orang tidak akan segan untuk mengkonsumsi uang mereka untuk membeli berbagai macam barang yang mereka inginkan. Tapi walaupun memiliki potensi yang besar, tetap ada beberapa masalah yang menjadi penghambat pertumbuhan konsumen yang pernah belanja online.

Dalam artikel di WSJ menyatakan bahwa penyebab pertama kenapa orang Indonesia sampai saat ini masih ada yang belum pernah belanja online adalah rendahnya penetrasi kartu debit dan kredit. Berdasarkan data dari Euromonitor International di tahun 2013, ada 92 juta atau lebih dari 40% akun bank yang terhubung ke kartu kredit dan debit dari total penduduk Indonesia yang mencapai 240 juta. Jika dibandingkan dengan penetrasi mobile phone, angka ini masih rendah karena sekitar 85% orang Indonesia memiliki mobile phone yang mana setiap bulannya mereka menghabiskan 661 halaman untuk browsing.

Nah, revolusi website terus berlanjut, dari kelahirannya berkode Web 1.0, terus berlanjut 2.0 dan sekrang 3.0. Apa saja perubahan yang muncul, berikut ini sejarahnya, karena kata orang tak kenal maka tak sayang. Tidak tahu sejarah maka akan gagap terhadap perubahan dan tidak mempunyai tujuan. Berikut sejarahnya, menurut Ardi Yuda Prawir bahwa  Web Science didorong oleh pergerakan generasi Web dari Web 1.0ke Web 3.0. Sejak diperkenalkan Web pada tahun 1990 oleh Tim Berners-Lee, perkembangan yang terjadi luar biasa. Perbedaan utama dari setiap generasi adalah pada Web 1.0 masih bersifat read-only, pada Web 2.0 bergerak ke arah read-write,sedangkan pada Web 3.0 mengembangkan hubungan manusia ke manusia, manusia ke mesin, dan mesin ke mesin. Pada Web 2.0 kegiatan sosial sudah dimulai, dengan semakin popularnya berbagai fasilitas seperti wikipedia, blog, friendster dan sebagainya. Tetapi kendala utama pada Web 2.0 adalah penangan untuk pertukaran data atau interoperabilitas masih sulit. Web 3.0 mencoba menyempurnakan Web 2.0 dengan memberikan penekanan penelitian pada Semantic Web, Ontology, Web Service, Social Software, Folksonomies dan Peer-to-Peer. Penelitian ini sangat memperhatikan ‘budaya’ sebuah komunitas terhadap kebutuhan akan sebuah data atau informasi.

 

Nah, untuk lebih detailnya, kita akan membahasnya pada hari esok. Selamat berkarya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.