Stop Human Trafficking, Kuatkan Ekonomi Kerakyatan
Apa itu human trafficking ? Human trafficking adalah Human trafficking adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan orang, dengan cara ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk pemaksaan lainnya, penculikan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi kerentanan atau pemberian atau penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup, minimal, eksploitasi pelacuran orang lain atau bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau layanan paksa, perbudakan atau praktek serupa perbudakan, penghambaan atau pengambilan organ tubuh (Protokol Perdagangan yang merupakan bagian dari Protokol Trafiking yang disahkan PBB di Palermo Italia pada tahun 2000). Siapa saja korbannya ? Korbannya adalah mereka yang secara ekonomi dan pengetahuan lemah sehingga sangat rentan menjadi korban human traffciking. Menurut sebuah survey yang dilakukan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia milik Amerika Serikat, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 laki-laki, perempuan dan anak-anak diperkirakan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional dan sampai saat ini masih terus berkembang. Mereka mengalami berbagai tindakan yang sangat tidak berperi kemanusiaan. Pemerintah memperkirakan sekitar 1,9 juta dari 4,5 juta warga Indonesia yang bekerja di luar negeri—kebanyakan dari mereka adalah perempuan—tidak memiliki dokumen atau telah tinggal melewati batas izin tinggal
Di Indonesia, banyak sekali are yang menjadi area sending / pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI), ada pula area transit, yaitu area tempat TKI ditampung sementara yang semestinya mereka diberi pengetahuan, keterampilan namun malah diperlakukan tidak manusiawi. Satu lagi adalah area tujuan, pada konteks ini area tujuan adalah negara tujuan TKI, walaupun tidak menutup kemungkinan area tujuan adalah Kota di Indonesia sendiri.
Berbagai latar belakang TKI yang menjadi korban human traffcking, baik secara kemampuan ekonomi yang sangat terdesak maupun faktor pengetahuan yang rendah. Berdasarkan penelitian Suyitno (2004), dimana penelitian dilakukan di Kecamatan Kalipare Kabupaten Malang, ditemukan suatu fakta yang sangat mengejutkan. Fakta bahwa lebih dari 80%, TKI yang mengalami tindak kekerasan di luar negeri berpendapat jika mereka akan kembali lagi menjadi TKI karena kebutuhan ekonomi. Akses lapangan pekerjaan tidak tersedia, menjadi alasan TKI untuk kembali lagi menjadi TKI, walaupun resiko kekerasan akan mereka dapatkan hingga meninggal dunia.
Masih menurut Suyitno (2004), data kualitatif yang didapatkan sangat mengejutkan dimana seorang anak baru akan bertemu dengan ibunya pada saat dia berusia 8 tahun. Ya, anak tersebut sejak lahir sudah ditinggal kembali oleh ibunya yang menjadi TKI. Bagaimana keceriaan anak tersebut saat bercerita akan berjumpa ibu kandungnya setelah 8 tahun berpisah, hanya bisa berkomunikasi melalui telpon, yang tentu saja masih sangat mahal pada waktu itu.
Lalu sampai kapan kondisi ini akan berlansung ? Solusi permanen mencegah human trafficking adalah penyediaan lapangan pekerjaan, yang mudah diakses oleh TKI dengan berbagai latar belakang pendidikan, keterampilan dan pengetahuan. Melalui penyediaan lapangan pekerjaan yang layak, maka TKI tidak mungkin mau meninggalkan keluarganya demi mencari kehidupan yang lebih layak. Maka tanggungjawab tersebut ada di Pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang layak, didukung oleh sektor swasta. Sektor usaha yang banyak dimainkan oleh pengusaha swasta tidak akan banyak berjalan jika tidak didukung atau difasilitasi oleh Pemerintah melalui regulasi yang memihak.
Jadi, stop human trafficking melalui regulasi yang mendukung sektor swasta agar semakin kuatnya ekonomi kerakyatan.